Thursday, January 25, 2007

HILANG

Selera orang berbeda-beda……… Ini bukan hantu yang bergentayangan dalam ruang mayat suamiku. Bayangan itu serasa nyata dalam kerlip mata. Suamiku yang gagah, yang setiap hari melayani sawahnya, yang setiap pagi memanjakan tanaman-tanaman padi dengan hatinya, kini terbujur kaku di atas sebuah meja kayu 1x2meter. Matanya yang tertutup mengingatkanku pada tumpukan beras setelah panen. Harum ini seharum bau peluh suamiku sepulang bekerja. Tak penah terpikir ia akan pergi secepat ini. Belum genap 1 tahun kami menikah, tetapi apa yang menimpa suamiku benar-benar mengkaramkan pernikahan kami. Di seberang desa itu, di tengah malam satu hari yang lalu terdengar suara percakapan antara tiga orang. Salah satunya terdengar lebih pesolek dari yang lain. Apa kalian berhasil? Tanyanya. Kami bukan hanya membunuhnya. Jawab si Buncit. Ya, kami juga melindaskannya ke kereta api. Tambah si botak. Bagus! Besok ambil uangnya di dalam pot bunga di depan rumahku lalu kalian cepat-cepat tinggalkan daerah ini. Balas si pesolek. Masih terus aku menghayati suasana ini. Sekilas tampak seram sekali tanpa kehadiran siapa-siapa di ruangan kecil ini. Tetap kupandangi tubuh atletis suamiku yang tak lagi bernyawa di depanku. Terasa sekali ketika pertama kali kami bercinta. Kami benar-benar keenakan di malam pertama yang masih seperti kuingat kemarin. Peluh yang membasahi tubuh kami dan suara desahan memberikan bekas yang sangat dalam bagi jiwa kami berdua. Oh, alangkah indahnya masa itu. Baiklah, bawa serta temanmu dalam tugas ini. Semakin banyak orang semakin cepat selesai. Tapi ingat…honor tetap seperti semula. Tegas suara dari balik telepon. Sa..sa..saya mengerti. Jawab penelpon itu. Hahahaha…Pastikan semua tersusun rapi sesuai rencana. TANPA SAKSI – TANPA BUKTI. Hahahaha… Luapan emosi terngiang di antara rongga telinga penelpon itu. Agak kering bibir ini terkecap. Aku membasahi kedua bibirku dengan lidah. Kembali kutatap seonggok tubuh manusia yang tak lain adalah tubuh mati suamiku. Wajahnya yang tegar tidak mengisyaratkan kalau ia mati dengan cepat. Teringat bagaimana orang-orang kampung begitu menghormatinya melebihi tetua kampung kami. Belum pernah ada orang yang mau merelakan waktunya demi hanya memperbaiki sepeda anak tetangganya, atau memandikan kerbau-kerbau orang kampung, atau sekedar membersihkan rumput-rumput halaman rumah kawannya dan tidak meminta suatu upah apapun. Sungguh suamiku seorang yang gentleman, entah apapun artinya itu. Thok…thok…thok… Maaf, saya diutus oleh tuan TW untuk menemui anda sekarang. Seorang bertampang seram dengan perut buncit berbicara. Siapa namamu?! Serang orang yang membukakan pintu. Saya DL, Nya…Jawabnya. Jadi ia sudah membaca pesanku. Pikir si penerima tamu yang tak lain adalah seorang perempuan tigapuluhan dengan muka dan penampilan yang datar. Baik, ikut aku ke dalam, kita bicarakan ini di dalam! Lanjutnya. Kemarin lusa aku masih sempat mendengarkan siulannya setelah memukuliku karena terlambat bangun pagi. Hal itu biasa dilakukannya setelah kami mengetahui bahwa aku tak akan pernah menjadi ibu dari anaknya. Benihku tak menghasilkan keturunan. Di kala itu sorot matanya berubah menjadi tajam. Mertuaku sampai-sampai tak dapat mengenali anaknya sendiri. Raut kekecewaan itu kini tak dapat kunikmati lagi walaupun sebelumnya ia sering memukuliku jika berbicara dengan menatap mukanya. Sungguh sayang…… Yth. TW Oh, tolong aku. Aku sudah tak sanggup lagi menghadapinya. Aku tidak tahan lagi untuk berteriak dan pergi dari rumah ini. Sudah cukup aku meredam segala kegilaan ini, dan sekaranglah saatnya aku memutar arah angin itu. MR (bunyi MEMO di meja seorang pengusaha yang juga kakak dari si penulis memo). Mengangkat gagang telepon. Cepat kirim DL ke rumah adikku! Dalam kekelaman ini aku menangisi diriku sepenuhnya. Aku tak merasa sedih juga tidak gembira. Perasaan ini belum sekalipun hingap di dalam kalbuku. Tubuh kaku itu masih mengiris duka dan ironi. Sejenak diriku serasa melayang. Aku tidak tahu haruskah aku menangis atau tersenyum. Aku telah membunuh suamiku. Dosa itu tak sesunyi nyanyianmu…… -Alejandro Fiscossin-

Pudan dan Japin

Tepat ketika aku harus mengisi bilik-bilik di otakku dengan buntalan elektro-magnetik, tersadarku pada kenyataan yang mengibakan; bahwa ilmu pengetahuan adalah sampah yang membumbung tinggi di dalam pusaran angina halusinasi. Ilmu bukan kekuasaan seperti yang diungkap oleh beberapa orang jika tak cukup satu orang, ataupun modal untuk meraih kemuliaan. Perasaan bersalah mulai menggerayangiku. Begitu pula dengan pikiranku yang tak pernah bersih. Aku mulai gelisah kala mendengar seorang ibu menyayangkan mahalnya biasa menyekolahkan anaknya. Ibu itu seringkali berujar bahwa ilmu adalah segalanya, ilmu dapat membawamu menuju kehidupan yang bahagia, nak! Dan alangkah bersedihnya ibu itu saat anaknya tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi dengan alasan tidak lulus seleksi masuk. Padahal kini tiada menahu lagi aku dengan segala ucapan yang pernah dilontarkan ibu yang naas tersebut. Aku membatu memikirkan kembali perkataan ibu itu. Aku sinergikan dengan pikiranku yang katanya orang sudah sesat ini. Aku memilih untuk menyebutnya konyol. Mungkin juga ilmu pengetahuan pernah menjadi ajang kebinalan ilmuwan mengangkat gagasan-gagasan konyolnya. Itu pula yang aku pikirkan. Sudah meluap-luap kepala ini beradu dengan waktu. Namun, tak kudapatkan sintesis dua pikiran yang sama konyolnya itu. Ilmu pengetahuan kembali tak membantuku menyelesaikan keresahan, sama ketika aku harus menyelesaikan hutang-hutangku. Mungkin terlalu berat beban pengetahuan menanggung persoalan ini. Mungkin bukan dia jawaban bagi segala-galanya. Mungkin apa yang kutemukan adalah benar walau aku masih yakin aku belum tahu pasti apa itu benar. Ilmu pengetahuan dan apapun namanya selalu bena di dalam dunianya sendiri. Begitu juga dengan aku. Ilmu pengetahuan tak lebih dari sekedar sampah kebudayaan saja. Kata mereka banyak orang yang tak berilmu dapat menemukan kebahagiaan. Kata mereka kalau ingin kaya jangan sekolah. Aku malah menemukan dua pertanyaan dari apa yang tertulis barusan. Pertama, apakah bahagia adalah kaya? Kedua, apakah ilmu didapat dari sekolah. Dan kesimpulan dari pertanyaan itu adalah pertanyaan yang lain lagi, apakah ilmu membawa kita pada kebahagiaan? Kalau dua pertanyaan sebelumnya dijawab “ya”, maka aku yakin jawaban untuk pertanyaan selanjutnya pasti sama. Kembali aku pada sampah yang mulai mengotori mataku. Rupanya bukan sama yang aku bicarakan sebelumnya. Hanya saha aku teringat ucapan teman bahwa belajar memiliki beberapa bentuk, yaitu occipatory learning, visual learning dan kinesthetic learning. Kalau tidak salah mata termasuk salah satu perangkat keras yang digunakan dalam salah satu proses tersebut. Yang membuatku heran bagaimana mungkin mata yang centil, mungil, tengil dan il-il yang lain dapat menjadi pabrik besar penghasil pengetahuan bagi seseorang. Apakah sebegitu hebat kemampuan mata yang cantik, lentik, jentik dan tik-tik yang lain itu. Kalau begitu barulah aku percaya mereka juga mengeluarkan limbah sisa-sisa produksinya, seperti yang sekarang terjadi pada mataku. Kini limbah kuning-kemuning itu bersatu dengan dosa-dosa pengetahuan yang memaksaku menyerap sebanyak mungkin data-data untuk disimpan ke dalam komputer biologis milikku semata wayang. Bukannya dengan begini aku mengakui ilmu pengetahuan? Ya, benar sekali dan untunglah hanya sebatas ini pengakuanku dan kepercayaanku terhadapnya. Lain lagi ketika aku harus kembali dipaksa mengingkari kenyataan yang tak selamanya menjadi duniaku. Aku akan meregangkan jantungku barang sejenak. -Angelina Ferdinant-

Sisa

Dengan sisa-sisa energinya sebuah baterai mencoba mengerakkan jarum jam maupun hanya sekedar menggetarkan ujungnya tanpa harus melangkah. Begitu juga dengan AKU! Tanpa harus menunggu tenagaku terisi penuh, aku harus mengatasi semua masalahku, tanpa bantuan yang lain. Aku beranjak gila dan tak kembali. Memang kewarasanku hanya diukur melalui ukuran produktivitas yang tak dapat kucapai saat ini. Tulisan ini hanya menegaskan kekuranganku. Bisakah tangis menghancurkan kegilaan? Atau aku harus rebut sendiri kewarasan yang dulu hinggap di hati. Sudahlah, bukan saatnya lagi mengeluh.......................