Thursday, January 25, 2007

Pudan dan Japin

Tepat ketika aku harus mengisi bilik-bilik di otakku dengan buntalan elektro-magnetik, tersadarku pada kenyataan yang mengibakan; bahwa ilmu pengetahuan adalah sampah yang membumbung tinggi di dalam pusaran angina halusinasi. Ilmu bukan kekuasaan seperti yang diungkap oleh beberapa orang jika tak cukup satu orang, ataupun modal untuk meraih kemuliaan. Perasaan bersalah mulai menggerayangiku. Begitu pula dengan pikiranku yang tak pernah bersih. Aku mulai gelisah kala mendengar seorang ibu menyayangkan mahalnya biasa menyekolahkan anaknya. Ibu itu seringkali berujar bahwa ilmu adalah segalanya, ilmu dapat membawamu menuju kehidupan yang bahagia, nak! Dan alangkah bersedihnya ibu itu saat anaknya tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi dengan alasan tidak lulus seleksi masuk. Padahal kini tiada menahu lagi aku dengan segala ucapan yang pernah dilontarkan ibu yang naas tersebut. Aku membatu memikirkan kembali perkataan ibu itu. Aku sinergikan dengan pikiranku yang katanya orang sudah sesat ini. Aku memilih untuk menyebutnya konyol. Mungkin juga ilmu pengetahuan pernah menjadi ajang kebinalan ilmuwan mengangkat gagasan-gagasan konyolnya. Itu pula yang aku pikirkan. Sudah meluap-luap kepala ini beradu dengan waktu. Namun, tak kudapatkan sintesis dua pikiran yang sama konyolnya itu. Ilmu pengetahuan kembali tak membantuku menyelesaikan keresahan, sama ketika aku harus menyelesaikan hutang-hutangku. Mungkin terlalu berat beban pengetahuan menanggung persoalan ini. Mungkin bukan dia jawaban bagi segala-galanya. Mungkin apa yang kutemukan adalah benar walau aku masih yakin aku belum tahu pasti apa itu benar. Ilmu pengetahuan dan apapun namanya selalu bena di dalam dunianya sendiri. Begitu juga dengan aku. Ilmu pengetahuan tak lebih dari sekedar sampah kebudayaan saja. Kata mereka banyak orang yang tak berilmu dapat menemukan kebahagiaan. Kata mereka kalau ingin kaya jangan sekolah. Aku malah menemukan dua pertanyaan dari apa yang tertulis barusan. Pertama, apakah bahagia adalah kaya? Kedua, apakah ilmu didapat dari sekolah. Dan kesimpulan dari pertanyaan itu adalah pertanyaan yang lain lagi, apakah ilmu membawa kita pada kebahagiaan? Kalau dua pertanyaan sebelumnya dijawab “ya”, maka aku yakin jawaban untuk pertanyaan selanjutnya pasti sama. Kembali aku pada sampah yang mulai mengotori mataku. Rupanya bukan sama yang aku bicarakan sebelumnya. Hanya saha aku teringat ucapan teman bahwa belajar memiliki beberapa bentuk, yaitu occipatory learning, visual learning dan kinesthetic learning. Kalau tidak salah mata termasuk salah satu perangkat keras yang digunakan dalam salah satu proses tersebut. Yang membuatku heran bagaimana mungkin mata yang centil, mungil, tengil dan il-il yang lain dapat menjadi pabrik besar penghasil pengetahuan bagi seseorang. Apakah sebegitu hebat kemampuan mata yang cantik, lentik, jentik dan tik-tik yang lain itu. Kalau begitu barulah aku percaya mereka juga mengeluarkan limbah sisa-sisa produksinya, seperti yang sekarang terjadi pada mataku. Kini limbah kuning-kemuning itu bersatu dengan dosa-dosa pengetahuan yang memaksaku menyerap sebanyak mungkin data-data untuk disimpan ke dalam komputer biologis milikku semata wayang. Bukannya dengan begini aku mengakui ilmu pengetahuan? Ya, benar sekali dan untunglah hanya sebatas ini pengakuanku dan kepercayaanku terhadapnya. Lain lagi ketika aku harus kembali dipaksa mengingkari kenyataan yang tak selamanya menjadi duniaku. Aku akan meregangkan jantungku barang sejenak. -Angelina Ferdinant-

No comments: