Monday, June 19, 2006

MImPi(=)HIdUp

Ketika impian menjadi hidupku. Ataukah hidupku hanyalah impian. Boleh jadi ini adalah kebebasan. Bermimpi itu bebas, namun tidak membebaskan. Apa yang terjadi jika ternyata kita bangun dan mengetahui semuanya hanyalah sebuah mimpi?, termasuk juga ketika kita terbangun dari lamunan (daydreaming) yang akut di siang hari. Apakah kita masih merasa bebas? Atau sebaliknya? Kita mulai terbelenggu untuk mewujudkan mimpi kita menjadi nyata. Berbahagialah orang yang menganggap mimpi hanya terjadi di dalam tidurmu, bukan di alam nyata. Bagi diriku dan orang-orang yang ingin mewujudkan impiannya, akan selalu menjumpai ilusi-ilusi yang tak pernah kami sadari. Ilusi tak sama dengan impian. Jika impian itu tak nyata, maka ilusi sangat nyata sekali. Selama indera kita masih dapat bekerja, kita selalu menemui ilusi di sekitar kita. Namun, ilusi tak selamanya berkonotasi buruk. Justru melalui ilusi itu kita dapat mewujudkan impian kita. Kita bermimpi memiliki kendaraan super cepat dan super canggih. Bangun dari bermimpi kita senang mendapatkan sebuah sepeda motor, meskipun di dalam impian kendaraan itu adalah sebuah Ferrari. So, masih menganggap dunia bukan ilusi? Orang yang menolak anggapan ini adalah orang yang sangat menderita. Orang inilah yang benar-benar hidup di dalam negeri impiannya. Orang-orang pemimpi menginginkan lebih dari ilusi. Jika dia bermimpi tentang Ferrari, maka dia harus mendapatkan Ferrari setelah bermimpi. Inilah penderitaan hidupnya. Akan tetapi bagi orang yang memahami hidup adalah ilusi, jangan senang dulu. Ketika kita tahu ini semuanya hanya ilusi, maka kita akan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk memaknai ilusi itu sekehendak kita. Nah, inilah yang menjadi penderitaan kita. Bagi seorang masochist cambukan pecut bisa dimaknai sebagai kenikmatan daripada kesakitan. Sedang bagi orang yang menganggap semua itu ilusi, cambukan pecut tak dapat terjelaskan. Pilihan antara kenikmatan dan kesakitan menjadi abadi. Ilusi menjadi semakin nyata dan bayangan tetang dunia menjadi kabur. Kebebasan mengambil alih penderitaan, tetapi menjerumuskan kita ke dalam sumur tanpa dasar. Kita terjatuh dan tak pernah berhenti. Derita Sisifus terulang dan kutukan kebebasan menguasai hidup. Itulah penderitaan orang-orang bebas. Lalu, kau mau pilih yang mana?

Wednesday, February 08, 2006

Kapan sebuah tanya membuatmu resah?

Sebuah persepsi akan suatu hal atau kejadian atau barang kadangkala memiliki racun yang tak tertebak oleh nalar. Kita mengimpresikan percikan pemikiran pada sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan kehadirannya. Seseorang yang memangsa nalarnya sendiri sebenarnya tidak benar-benar lapar. Hanya keinginan untuk melintasi ruang dan waktu yang tak tertahankan. pikiran itu dapat berbentuk pertanyaan, kritik, sanggahan, pujian, romantisme, ataupun sekedar basa-basi. Kala mulut terkesiap untuk bicara, tak ada lagi aliran darah yang membubuti otak. Seketika itu juga kita kehilangan akal. Kewarasan bukan istilah yang tepat untuk dimainkan. Loncatan pikiran itu tentu saja memberi kita dua pilihan. Itu adalah mukjizat atau itu adalah bencana. Saat kegamangan menendang-nendang cerebri sudah sepantasnya kita merasa takluk dan binasa oleh bahasa yang mungkin tak menguncup di permukaan hemisphere kiri kita. Maka kembali lagi kita pada persoalan awal. Kapan sebuah tanya membuatmu resah? sesungguhnya pertanyaan sudah mengintisarikan jawabannya. Begitu juga pertanyaan-pertanyaan lain yang tak terhingga banyaknya. Namun, untuk menjawab pertanyaan itu mulailah membuat suatu garis batas dan menorehkan garis batas yang lain di sekelilingnya. Sehingga dimungkinkan hal atau sesuatu yang menjadi esensi pertanyaan mulai terpagari. Akan tetapi, bukankah eksistensi mendahului esensi? Satu lagi pertanyaan muncul akibat lemahnya garis batas yang dibuat. Tetaplah jua kita tak akan keluar dari dilema berkepanjangan ini. Yah begitulah jawaban yang terkira di dalam pertanyaan ini. Bagaimana dengan kamu????