Monday, February 05, 2007

Maiden

Aku mulai merasa sentimental. Kusibakkan sehelai rambut yang menutupi dahi. Aku merasa berirama. Bukan karena pesona, juga bukan suasana. Apakah kuasa selalu menguntitku dari belakang? Tentu saja tidak. Ia telah menempel di punggungmu sejak lama. Sebuah guyonan lama. Aku tidak menganggapnya sebagai hal yang serius. Cinta……!! Bukanlah aku terbakar aromanya. Seakan melangkah di bebatuan terjal menembus awan. Apalagi kalau bukan dahaga. Siang hari ku akan terjaga. Meratapi sebuah tudung putih yang akan menghias di kepala. Sudah bolehkah aku mencintaimu? Berbekal nyawa seroja menghunus kuasa. Memaksa menggunakan kata pusaka. Aku mencintaimu hidup dan mati. Sudah bolehkah aku tinggal di hatimu? Bertarung dengan semua kebutaan dan khayalan. Oh, aku pasti mati hari ini. Sebuah kue tart besar dihadiahkan kepada pasangan sehidup-semati. Aku mendengar pendeta memanggil nama kita. Aku dan Kamu. Kita berjalan menuju altar penindasan. Kukira cerita itu sudah terkubur jauh di dalam tanah. Sayang sekali bila ini terlewatkan . Kita sudah menginjak usia uzur dan tak ada yang menghalangi jalan yang kita pilih. Tak siapapun. Namun tidakkah kau meragu? Karena aku pasti meragu. Aku hanya mendengar suara tersekat ketika kau mengatakan akan menikahiku. Kau tak perlu menikahiku kalau kau tak mau, karena aku yang akan menikahimu. Tak pernah kutahu apakah sebesar ini rasa yang harus aku rengkuh. Sayang sekali. Sungguh sayang. Berbeda dalam setiap keheningan, kita berdua berlayar dalam duka. Melompati satu dengan yang lain dan saling bertatap mesra. Biarlah aku meraba senandungmu agar kau bergelora. Karena kita tak satu pun jua merasakan apa-apa. Ketakutan itu berakhir dengan tawa. Sedikit tawa yang disuguhkan di dalam cangkir teh yang menusuk di tenggorokan. Sungguh tak berhak kukatakan ini. Tak berhak pula aku berdiam diri. Sebab permainan baru saja dimulai. Dan kita berdua yang pertama kalah. Aku mafhum dengan berita itu. Seperti kotoran yang berenang di kolam sabun. Kita mengaduk bara dengan tangan telanjang. Meludahi kue tart mewah itu dan seenaknya mengotori gaun kita dengannya. Telanjang adalah ketololan. Wajar bila kita menginginkannya. Aku merindui bait-bait ketelanjangan yang terukir dalam sanubari. Mencoba ’tuk menariknya keluar untuk sesaat menampakkan bayangnya. Aku tak pernah bisa apa-apa. Bukan seoang yang tegas dengan kebingungannya. Sebuah tirani atas nurani. Sebuah ketololan..... Hingga bumi tidaklah berarti, cukup senangkah kau mencintai? Gurih dan segar menguncup bunga itu berpendar tersapu angin. Aku tak mampu menghentikan bukan karena lemah. Kuasa tak pernah berbuat apa-apa. Ia hanya tertawa mengundang agony terputus dari plasentanya. Akan menghisap apa ia? Bahkan madu tidaklah kupunya. Aku terpeleset dalam kemiskinan. Tak lagi bertuan, tak lagi berbudak. Hanya kenekatanku menantang hidup membuat gentar seluruh prajurit istana. Akan kurebut kembali sari itu kembali ke tempatnya. Akan kulepaskan rantai-rantai pembunuh yang terkesiap di antara lebat hujan menghajar. Aku akan berkuasa atas ketololanku!!! Seperti ada yang janggal dalam perjuanganku. Pedang in tak berarti apa-apa tanpa gagangnya. Aku lupa membelinya tadi di pasar loak. Aku akan membeli yang baru. Sebenarnya aku lebih suka yang second hand. Tapi ini menentukan nasib dunia. Ya! Dunia yang berdiri atas ketololanku. Aku akan menciptakan surga bagi orang-orang tolol. -Antonio Fiscossin-

No comments: